Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024: Dari investor hengkang, daya saing ‘lemah’, hingga utang yang membengkak
Tiniur Lumban Tobing kini harus pintar-pintar mengurus pengeluaran keluarganya.
Perempuan berusia 49 tahun tersebut menganggur setelah perusahaan tempat ia bekerja di Batam selama 25 tahun tutup bulan Maret tahun ini.
Tiniur, yang akrab disapa Tiur, sebelumnya menjabat sebagai asisten supervisor di pabrik tersebut. Ibu tiga anak tersebut kini hanya mengandalkan pendapatan dari bengkel sepeda motor kecil-kecilan yang dikelola suaminya.
“Kalau yang namanya kita ibu rumah tangga ya harus pintar mengatur belanja. Kita sudah tidak kerja, jadi belanja tidak bisa yang keluar dari kebiasaan. Dulu selama kerja kita bisa bergaya pakai make up sekarang hanya pakai make up ketika mau keluar atau hanya untuk pesta,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Pabrik tempat Tiur bekerja, PT Foster Electronic Indonesia, membuat perlengkapan audio seperti pengeras suara.
Sebelum menutup pabriknya di Batam, perusahaan melepas sekitar 1.000 karyawan, termasuk Tiur. Perusahaan tersebut pindah ke Myanmar, menurut Dinas Tenaga Kerja Kota Batam seperti dikutip oleh CNBC Indonesia.
“Saya tidak diberitahu kalau perusahaan mau tutup, cuma saya tak kaget karena perusahaan memang saat itu lagi turun produksinya dan orderan berkurang dari tahun 2005,” ujar Tiur, yang enggan menyebutkan berapa pendapatannya sekarang dari bengkel.
Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024 – Mitos pertumbuhan tujuh persen
Relokasi investor asing dari Indonesia ke negara Asia Tenggara lain, terutama Vietnam, Malaysia, dan Thailand, merupakan satu dari sejumlah tantangan ekonomi yang akan dihadapi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam lima tahun ke depan.
Investasi yang keluar dari Indonesia mengakibatkan pengangguran meningkat dan konsumsi rumah tangga menurun, seperti Tiur, yang berimbas pada melambannya pertumbuhan ekonomi.
Jokowi juga telah mengatakan bahwa investasi asing (FDI) merupakan kunci bagi Indonesia agar bertahan di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan oleh semakin intensnya perang dagang Amerika Serikat dan China.
“Pertumbuhan ekonomi lambat di kuartal dua, khususnya menjelang Lebaran, padahal itu titik tertinggi dalam satu tahun di mana konsumsi rumah tangga harusnya mencapai di atas 5,2 atau 5,3%. Tapi kelas menengah atas justru menahan belanja, mungkin khawatir soal kebijakan perpajakan, ada juga yang khawatir soal struktur kabinet mendatang,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta.
“Untuk kelas menengah ke bawah, ada beberapa tekanan, seperti kenaikan tarif listrik dan BPJS, jadi mereka berjaga-jaga dari sekarang dengan lebih berhemat. Ini efeknya bahaya, karena 57% ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga,” jelas Bhima.
Besaran pertumbuhan yang tidak sesuai harapan memang menodai capaian ekonomi Kabinet Kerja periode pertama di bawah pimpinan Jokowi.
Pada kampanye pemilihan umum 2014, Jokowi dengan ambisius menargetkan pertumbuhan Indonesia sebesar 7%. Namun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh rata-rata lima persen, bahkan sempat menyentuh 4,79% pada tahun 2015.
Pemerintah mematok target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,3%, sedikit di atas pertumbuhan 5,17% tahun lalu.
Ada indikasi bahwa target ini pun meleset. Dalam satu minggu terakhir, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sama-sama memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi hanya 5% tahun ini, dari yang sebelumnya 5,2% dan 5,1%, menurut masing-masing lembaga beberapa bulan silam.
“Ada kemungkinan besar di kuartal empat akan ada penghematan belanja pemerintah karena bersiap untuk menghadapi pelebaran defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Ini yang membuat IMF dan Bank Dunia menaruh proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini pada 5%. Namun, kalau lembaga dunia bilang 5%, biasanya ada kemungkinan realisasi pertumbuhan justru di bawah 5%,” ujar Bhima.
Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024 – Kalah bersaing dari Vietnam dan Malaysia
Janji Jokowi periode satu lainnya yang tidak tercapai adalah menaikkan daya saing industri, di mana Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
Daya saing Indonesia sendiri merosot lima peringkat ke posisi 50, dari 141 negara di dunia, dalam laporan Global Competitiveness Report yang disusun Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun ini.
Meski Vietnam duduk di posisi 67, namun negara ini melesat 10 peringkat dibanding tahun lalu, menurut WEF. Di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, namun unggul dari Filipina.
Kebijakan impor yang tidak ramah pengusaha dan sulitnya akuisisi lahan membuat banyak perusahaan hengkang dari China untuk menghindari kenaikan tarif akibat perang dagang dengan AS. Mereka lebih memilih berlabuh di Vietnam.
“Fenomena perusahaan yang memilih Vietnam ketimbang Indonesia sudah terjadi jauh sebelum perang dagang [AS dan China]. Banyak faktornya, Vietnam punya efektivitas birokrasi, ada kebijakan dari pusat yang ditetapkan dengan efektif dan tersalur ke daerah,” kata Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.
“Di Indonesia, koordinasi kebijakan tidak sinkron antara kementerian di pusat dengan kementerian lainnya, serta di daerah, karena daerah punya otonomi sendiri. Lalu masalah pembebasan lahan di Vietnam jauh lebih mudah karena memang sistem kepemilikan lahan di Vietnam dimiliki oleh negara, sangat berbeda sekali dengan di Indonesia,” jelas Mohammad Faisal.
Akuisisi lahan di Indonesia memang terkenal sulit. Minggu lalu Kepolisian Daerah Banten menangkap mafia tanah yang diduga menghambat investasi perusahaan Korea Selatan senilai US$4 miliar, atau Rp56 triliun.
Tersangka mafia tanah tersebut diyakini memalsukan dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik atas lahan seluas 4,5 hektare. Setelah mendapatkan SHM, mereka mengklaim kepada Badan Pertanahan Nasional bahwa tanah yang akan digunakan oleh Lotte adalah tanah miliknya.
Tak sedikit perusahaan asing yang sudah berada di Indonesia juga memilih keluar pada periode pertama pemerintahan Jokowi yang akan berakhir hari Minggu (20/10).
Pabrikan otomotif asal Jepang Mitsubishi, contohnya, telah memutuskan akan memproduksi mobil low multi purpose vehicle Xpander di Vietnam tahun depan, setelah selama ini memproduksinya di Cikarang sejak tahun 2017.
“Kita makin tertinggal dari saingan kita yang semakin berinovasi dan beradaptasi, daya saingnya bagus, kebijakan ekonominya lebih jelas, dan insentif pajaknya bisa langsung dirasakan oleh pelaku usaha. Sehingga kelihatannya tren relokasi industri lima tahun ke depan akan semakin kencang,” kata Bhima.
Selain otomotif, industri lain yang diperkirakan akan mengalami guncangan dalam lima tahun ke depan adalah industri tekstil, di mana sejumlah pelaku usaha telah pindah ke Bangladesh, Sri Lanka, atau Ethiopia.
Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024 – Meningkatkan kemudahan berbisnis
Tak semua indeks ekonomi Indonesia suram. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, indeks Kemudahan dalam Berbisnis (Ease of Doing Business) mengalami kemajuan. Pada tahun 2015, Indonesia maju ke peringkat 106 dari 190 negara dunia, dari sebelumnya 120 di bawah pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono.
Setahun selanjutnya, Indonesia naik ke peringkat 91 dan mencapai titik terbaiknya pada tahun 2017 dengan duduk di peringkat 72, sebelum turun satu peringkat tahun lalu. Dari kategori ini, Jokowi berhasil mewujudkan janjinya dalam meningkatkan indikator peringkat EoDB, meski belum menjadi yang terkemuka di tingkat Asia.
Semua ini tak lepas dari peran 16 paket deregulasi yang diterbitkan Jokowi yang isinya antara lain kemudahan layanan investasi tiga jam, perluasan tax allowance dan tax holiday, insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), relaksasi daftar negatif investasi, penerapan online single submission untuk mempermudah izin usaha, dan lain-lain.
Meningkatnya peringkat ini turut mendorong terciptanya investasi di Indonesia.
Realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri naik 16,4% menjadi Rp182,8 triliun pada semester pertama tahun ini jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sementara realisasi investasi Penanaman Modal Asing adalah Rp212,8 triliun, atau naik empat persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018.
“Walaupun Bank Dunia dan IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia tahun ini, kami di BKPM tetap all out. Target realisasi investasi kami tahun ini sebesar Rp850 triliun dan dari target ini sekitar 50-55% kami berharap disumbang oleh FDI,” kata Wisnu Wijaya Soedibjo, Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Dalam lima tahun ke depan kami masih cukup optimistis kami bisa mencapai target. Kami punya cukup banyak stok FDI. Minat atas investasi di Indonesia tinggi tapi memang realisasinya tidak bisa secepat di Vietnam,” tambahnya.
Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024 – Utang membengkak
“Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Jokowi-JK (Jusuf Kalla) menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” kata Tjahjo Kumolo, salah satu anggota tim kampanye Jokowi-JK pada pemilu 2014.
Janji ini tidak tercapai.
Pada periode pertama, Jokowi memiliki impian ambisius untuk mengembangkan infrastruktur guna meningkatkan konektivitas baik di laut, darat, maupun udara. Di kategori ini, Jokowi dapat dikatakan sukses.
Beberapa infrastruktur yang telah atau sedang dibangun antara lain tol Trans Jawa, tol Trans Sumatera, tol Trans Sulawesi, dan tol Trans Papua. Total, ada 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diperkirakan akan memakan biaya hingga Rp4.197 triliun.
Pembangunan ini pun turut meningkatkan utang Indonesia.
Setahun setelah dilantik pada 2014, utang Indonesia tercatat sebesar Rp3.165 triliun, atau 27,43% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang atas PDB terus meningkat dalam lima tahun terakhir, mencapai Rp4.418 triliun atau 29,98% dari PDB tahun lalu.
Pemerintah telah menetapkan target rasio utang yang dipatok paling banyak 30% dari PDB, walaupun per Agustus tahun ini, utang Indonesia telah mencapai Rp4,680 triliun atau 29,8% dari PDB.
Pengamat mengatakan dari sekian banyak proyek infrastruktur tersebut, ada sejumlah proyek yang utilitasnya masih rendah dan salah perencanaan, sehingga dampaknya belum bisa dirasakan oleh warga di daerah.
Tantangan ekonomi Jokowi 2019-2024 – Janji lima tahun ke depan
Untuk periode kedua, Jokowi mengatakan bahwa ia akan melanjutkan proyek infrastruktur dengan penekanan pada konektivitas antara kawasan industri dengan kawasan ekonomi khusus.
Selain itu ia juga berjanji meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menjamin kesehatan ibu hamil, bayi, dan balita; meningkatkan kualitas pendidikan; dan reformasi birokrasi.
Pengamat ekonomi memprediksi bahwa tim ekonomi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf baru akan bergulat dengan tantangan struktural ekonomi tersebut setelah tahun 2022.
Dalam satu atau dua tahun setelah pelantikan, tim ekonomi baru susunan Jokowi-Ma’ruf nampaknya masih akan bergulat dengan indikator makro ekonomi jangka pendek, seperti mengurangi tekanan atas inflasi, menahan depresiasi rupiah, menahan aliran keluar dana asing, serta menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak sampai di bawah lima persen.
“Setelah badai resesi reda, tim ekonomi baru bisa berpikir lebih jernih soal janji pengembangan SDM, yang memang akan memakan waktu cukup panjang untuk mencapainya. Mereka baru akan memikirkan tantangan struktural ekonomi tahun 2022 ke atas,” kata Bhima.
Lima tahun lalu Jokowi berjanji menyederhanakan regulasi untuk mendorong pengembangan ekspor berbasis industri.
Pengembangan industrialisasi dipandang sebagai kunci yang tepat bagi Indonesia guna mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga.
Pertumbuhan industri manufaktur tahun lalu hanya sebesar 4,07%, lebih rendah dari tahun 2017 yang tumbuh 4,74% dan jauh dari target pemerintahan Jokowi-JK sebesar delapan persen.
“Dalam lima tahun mendatang pemerintah sebaiknya menetapkan agenda prioritas untuk merevitalisasi industri manufaktur karena ini akan mengurangi ketergantungan kepada komoditas,” jelas Mohammad Faisal dari CORE.
“Kalau kita bandingkan tahun 2000 dulu, industri manufaktur dapat menyumbang lebih dari 50% volume ekspor Indonesia, sekarang digantikan oleh ekspor komoditas,” katanya.